Sejarah Desa Wisata Gubugklakah

Naskah

Asal usul Desa Gubugklakah
Oleh Amin Karyanata kusumadipura

 


Dijaman kejaya’an Kerajaan Singhasari pada masa itu diRajai oleh Prabu Kertanegara, gagasan Prabu Kertanegara ingin menyatukan bumi Nuswantara sangatlah besar. Sehingga mengutus para punggawanya untuk selalu mendukung serta berani mengorbankan segala hal yang dimilikinya, meski nyawa sebagai taruhannya.
namun gagasan itu tidak sepenuhnya di dukung semua para punggawa kerajaan, salah satunya sang Patih sendiri, yaitu Gusti Patih Raganata.
glagat itupun tercium oleh maharaja, Sang Raja mengambil langkah lain yaitu langsung mengangkat Patih baru  dihadapan para Prajurit. Patih baru itu bernama Gusti Aragani. Yang dulunya senopati, kini menjadi Patih Kerajaan Singhasari.karena Gusti Aragani sependapat dengan Maharaja untuk menyatukan bumi Nuswantara.

Gusti Patih Raganata sangatlah tersinggung atas keputusan Raja Kertanegara karena mengangkat langsung Gusti Aragani, yang dulunya sebagai bawahan Gusti Raganata.
Gusti patih Raganata pun mbalelo,dia menentang atas perintah sang  Raja, bahkan merongrong kewibaawa’an Kerajaan, hingga disuatu hari setelah terjadi peperangan antara Gusti Raganata dengan Gusti Aragani tanpa diketahui Sang Raja, gusti Aragani kalah, lalu putranya tidak terima, terbunuhlah Gusti Raganata ditangan Mapanji Putra dari Gusti Aragani,

Dewi Tunjungsari Putri Gusti Raganata tidak lain adalah kekasih Mapanji mengadukan kepada sang Raja. Prabu Kertanegara pun memberi hukuman terhadap Gusti Patih Aragani dengan hukuman Penjara keraja’an, Ananda Mapanji pun juga demikian, namun hukuman untuk Mapanji yaitu menggantikan tugas-tugas dari Gusti Patih Raganata.

para prajurit (Pengikut) Aragani banyak yang mbalelo dan kabur dari kerajaan, salah satunya kearah lereng Gunung Bromo, mereka membuat tempat persembunyian diarea sekitar lereng-lereng Gunung Bromo. mereka memperdalam ilmu kesaktian guna untuk merongrong kawibawa’an kerajaan, salah satunya dengan cara merampok, menculik serta melakukan kejahatan lainnya.
sang Prabu Kertanegara geram, lalu mengirim para senopati untuk menyudahi para perampok-perampok tersebut.

Senopati- Senopati tersebut berangkat ke lereng Bromo Tengger guna mengemban tugas dari sang maharaja, mereka memakai nama samaran agar tidak di ketahui para perampok, karena perampok-perampok tersebut juga sebagian dari kalangan kerajaan yang mbalelo, nama-nama tersebut sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Mbah Mardiya, Mbah Macan Putih (Menamai sesuai ilmu yang didalaminya), Mbah Sedhek, Mbah kusumo (Mbah Sumo), dan Mbok Rondo Kuning. Mbok Rondo Kuning adalah putri dari Mpu kendhil Wesi.

Dimasa itu lereng tengger masih hutan belantara dan tidak ada akses jalan, para kelima tokoh yang didampingi prajurit berjumlah sedikit pun melintasi hingga berhari-hari bahkan berbulan bulan untuk mencari keberadaan para penjahat tersebut, karena begitu luasnya lereng gunung bromo.

Bertarung dengan sato galak atau hewan-hewan liar yang ada dalam hutan serta berbagai makhluk halus yang terusik keberada’an para lima tokoh itupun kerap terjadi. Karena wingitnya daerah lereng bromo.

sesampai di area tempat persembunyian para perampok.
kelima tokoh itu pun langsung menyerang. Dengan di persenjatai “Kudi Trantang/ Kudi Rancang” serta senjata-senjata lainnya seperti tongkat mbah Mardiya yang bernama Mustikaning Jambu, Serta piagem Mbok Rondo Kuning dengan Cunduk saktinya. Dan masing-masing menggunakan piagem atau rompi Antakusuma yang tahan dari segala senjata serta tahan terhadap ilmu Ghaib.

Perang terjadi hingga para perampok kocar kacir.
adapun tempat-tempat terjadinya peristiwa itu, oleh masyarakat masih di kenang hingga sekarang, antara lain Plerenan, Tungguk’an,, Beteteh, Njemplang, Ngrujak, Trisula, Gunungsari.

Plerenan adalah bahasa jawa yang artinya Peristirahatan,  ketika para Tokoh tersebut melepas lelah dalam mencari keberada’an para perampok.

Tungguk’an adalah bahasa jawa yang artinya Menunggu. Dan kala itu tempat yang sekarang dinamai Tunggukan berawal ketika para tokoh menunggu hendak menghadang para perampok.

Beteteh adalah bahasa jawa yang artinya Mengeluarkan adu kesaktian dalam peperangan terjadi.

Njemplang adalah bahasa jawa yang artinya tanah menurun dan setengah lapang setelah menaiki Pusung/ tanjakan, dalam pengejaran para perampok yang mulai melemah.

Ngrujak adalah bahasa jawa yang artinya dihancurkan/dilebur dengan senjata tajam. Para perampok dibunuh dengan cara tubuhnya tercacah dan sengaja tidak dikuburkan agar jadi pelajaran, siapa yang menyalahi akan di hancurkan seperi pemberontak/perampok.

Trisula adalah salah satu jenis pusaka, yang jaman dulu ditancapkan kedaerah tersebut sehingga sekarang dikasih nama TRISULA

Gunungsari, ketika itu mbah Mardiya memandang antara kanan dan kiri ada sebuah gunung yang elok/ indah yang membawa aura positif. Maka dikasih nama Gunungsari.

Nama-nama julukan tersebut masih ada dijaman sekarang.

Setelah usai peperangan yang menghabiskan waktu cukupa panjang, mengenang sama-sama sakti, para Tokoh pun turun dan beristirahat untuk beberapa hari. Setelah dirasa cukup, para Tokoh saling berpisah untuk mencari tempat tinggal, sesuai janji Maharaja, jika berhasil melenyapkan para pemberontak ataupun perampok yang dimaksud Raja, maka di beri  hadiah berupa kebebasan untuk membuat suatu wilayah Desa (membuat Karang Padesan). Guna memperluas pemukiman serta wilayah penduduk.

Mbah mardiya tetap di bawah sedikit area peperangan dan membuat Gubug atau Rumah tinggal dari serba pohon bambu, orang jawa menyebut Pring ada juga yang menyebutnya klakah.

Klakah adalah pohon bambu yang dibelah dua, dan ditata lalu dijadikan atap rumah.

Mbok Rondo Kuning kebawah lagi kira-kira 4-5 kilometer dari mbah mardiya dan menetap disana.

Mbah Sumo membuat daerah yang sekarang dikenal sebagai Poncokusumo yang diambil dari Ponco yang artinya lima ( yang dimaksud adalah Lima tokoh seperjuangan: mbah mardiya, mbah macan putih, Mbah sedhek, Mbah Sumo, Mbok Rondo Kuning). Kata Sumo diambil namnya sendiri. Jadi istilah Poncokusumo adalah kabungan tersebut, dan juga membawa arti lima kembang / yang membawa harum.

Ada banyak daerah daerah yang sekarang dipakai hingga sa’at ini.

 

Silih berganti hingga usai kejayaan singhasari, serta hancurnya kerajaan, dan menciptakan generasi baru yaitu Kerajaan Majapahit dengan Mahapatih Gajahmada yang namanya tersohor di penjuru dunia. Keraja’an Majapahit yang ditakuti dunia dimasa itu. Gagasan-gagasan Singhasari untuk menyatukan Nuswantara yang tidak mampu dilakukan kerajaan Singhasari, telah dilakukan oleh kerajaan Majapahit.peninggalan-peninggalan kerajaan singhasari pun diwarisi Majapahit hingga sukses menyatukan bumi Nuswantara.

Ketika mulai Runtuh, masuklah Agama Islam ke tanah Jawa dan mampu masuk dikeraton Majapahit yang awalnya Hanya menganut Agma Hindu dan Budha.

Masuknya Agama Islam diMajapahit pun juga menuai Pro dan Kontra yang sangat luar biasa, hingga terjadi pemberontakan-pemberontakan didaerah pinggir. Dan keraja’an- keraja’an kecil bawahan Majapahit.

Penyebaran Agama Islam di penjuru tanah jawa dilakukan, salah satunya juga didaerah lereng tengger/ bromo. Yang tidak lain menelusuri jejak mbah mardiya dan ke empat tokoh tersebut dimasa kejayaan Singhasari.

Para tokoh penyebar Agama Islam ke lereng Bromo Tengger tersebut salah satunya Mbah Ashari, dan Mbah Jasimak, beliau disamping memperluas Ajaran Agama Islam juga memberantas pemberontak, sama halnya yang dilakukan mbah Mardiya serta ke empat seperjuangnannya di era Singhasari. serta juga membuat karang padesan/atau Pedesa’an.

Banyak daerah-daerah yang telah diberi tanda, yang sekarang menjadi nama Desa. Salah satunya adalah Desa Gubugklakah.

Munculnya nama Desa Gubugklakah adalah, ketika Mbah Ashari tengah perjalanan ke lereng Bromo Tengger, beliau melihat ada suatu Gubug tua yang terbuat dari bambu (Tempat tinggal alm mbah Mardiya). Lalu mbah Ashari menamai daerah tersebut dengan nama Gubugklakah, mbah Ashari tinggal di bagian atas (Ujung Desa), dan Mbah Jasimek dibagian bawah. Mbah jasimek mempunyai tongkat sakti yang diberinama Mustikaning Kelor yang konon ditancapkan didaerah Desa Gubugklakah, sedangkan Tongkat Mbah Mardiya dulunya ditancapkan diatas (ujung desa).

Kedua Tongkat tersebut mempunyai arti dan watak sendiri-sendiri.

Tongkat Mustikaning Jambu memiliki arti Kertasari yang maknanya adalah ilmu dan persaudara’an, sedangkan tongkat milik Mbah jasimek memiliki arti Kerta Ayu, yang maknanya Kecantikan, Keindahan dan memiliki watak matrialistis serta jabatan.

Ketika itu mbah Ashari pernah mengucapkan suatu pesan, nantinya Orang Gubugklakah jika mau bekerjasama antara penduduk Gubugklakah Bagian bawah dan bagian atas. Maka Daerah ini akan menemukan Kejaya’an.

Itu sebagai bentuk hukum alam yang telah terjadi, pesan tersebut bermakna luar biasa, yang mengajarkan arti kehidupan, persaudara’an serta kekompakan untuk selalu bersatu. Karena hanya kesatuan lah yang mampu membentu kekuatan dibidang apapun.

 

 

Demikian asal usul sejarah Desa Gubugklakah yang kami ungkap berdasarkan peninggalan sejarah, dan telah kami kumpulkan serta kami rangkum sehingga menceritakan sebuah perjalanan. Yang insya Allah akan kami kemas sebagai pertunjukan Drama Tari, sendra tari serta Fragmen agar bisa dikonsumsi masyarakat gubugkalah khusunya, dan lebih penting lagi agar sejarah cerita Gubugkalah ini dipahami generasi selanjutnya.

 

Amin karyanata kusumadipura, 09 mei 2019

 



Penulis dan Penerjemah       : Amin Karyanata Kusumadipura
Narasumber 1                        :Bapak MATESAN
Narasumber 2                        :Amin Karyanata Kusumadipura
Pendamping Narasumber     : Bapak Heri (Ladesta)